Tentang Bandung

10-13 April 2015

Diawali dengan isu OTT yang ternyata memang kejadian OTT sehingga memaksa saya untuk tidur tanpa ketenangan agar bisa tiba di KPK pada Jumat (10/4) sekitar pukul 07.00.

Padahal rencananya adalah weekend ini jalan-jalan di Bandung, dengan perencanaan yang hanya sehari sebelumnya.

Dengan kekacauan sepanjang hari, akhirnya baru bisa mendapatkan travel dari Planet Hollywood pada pukul 00.00 WIB Sabtu (11/4)!! Itu pun masih pe-er satu berita, tapi ekspektasi liburan yang super menyenangkan udah di depan mata. Gak boleh mundur mau apapun yang dikata.

Sampe Bandung 02.15, nunggu dijemput dua kawan yang super kece, dan voila, sampailah di rumah orang pukul 03.00 WIB. Cara bertamu yang tidak boleh dicontoh! Tapi bagaimanapun petualangan sudah dimulai di Bandung ^____^

Energi terpompa, adrenalin meningkat, rasa suka melesat, bukan saja karena bisa liburan bersama 3 orang partner in crime tapi karena senang saja di kota ini. Petualangan selama perjalanan ke floating market dan action-action konyol ditutup dengan santap malam di Kampung Daun langsung meningkatkan rasa syukur hingga 300 kali lipat.

Di Floating Market, Lembang itu pengunjung bisa mencoba segala jajanan khas Bandung maupun impor dari luar daerah. Waktu makan sebaiknya setelah ngedayung pake beragam perahu yang tersedia supaya lahap. Yang direkomendasiin adalah beragam gorengan mulai dari pisang goreng, tahu goreng, bala-bala sampe cireng. Sedangkan di Kampung Daun adalah tempat makan bersaung-saung di tebing yang dibelek jadi tempat wisata. Settingan-nya apik ditambah ada live music, dan suasananya yang desa tapi modern bikin orang pengen berkunjung lagi dan lagi karena kayaknya gak ada batas waktu pemakaian saung. Banyak spot untuk foto-foto, tapi disarankan datang saat masih ada matahari karena setelah gak ada matahari apalagi kalau ujan jadi dingin banget. Tapi tenang, mereka nyediain api unggun gitu untuk menghangatkan badan.

Pulang dari Lembang, gak lengkap kalau gak ngeliat malam minggu padat di Bandung. Gak recommended kalau minim kesabaran tingkat dewa. Tapi kalau memang mau cari keramaian remaja ya silakan meluncur ke pusat kota sekitaran Jalan Asia Afrika, Braga, dkk.

Intinya, dunia tidak selebar daun kelor, kenalan pun tidak cuma sebatas jumlah jari tangan, pengalaman tidak hanya diperoleh dengan satu lingkaran perjalanan. Memulai dengan keberanian dapat menuai serangkaian kekaguman atas upaya manusia menembus batasan merangkul cita dan cinta. It’s such a lovely and unforgetable day, much love and laugh to fulfill your life as human being.

Pada hari kedua, saya mengakui salah karena tidak bergereja. Tapi upaya untuk bangun dan memulai hari di kota yang dingin ini memang butuh ekstra tenaga. Alhasil rencana untuk ke tempat tinggi tidak jadi terlaksana, diganti dengan ringkukan mengelilingi mangkok indomie, plus gorengan dan bandrek anget di kaki gunung.

Hidup serasa menemukan jawaban. Kalau lapar ya makan, kalau haus ya minum, kalau butuh kehangatan ya cari kehangatan itu. Cari dan minta kepada Sang Empunya, walau jawabannya masih misteri, tapi tetap harus percaya. Selagi masih terjaga tidak ada ruginya mencari yang dibutuhkan baik untuk diri sendiri maupun orang lain.

Setelah batal naik tebing, jadilah meluncur ke mall, sekalian beli kaos karena jadwal pulang berubah jadi besok. Sayangnya film yang ditonton salah banget yaitu filosofi kopi. Film yang seharusnya diganti judul jadi “fenifuan tentang kofi”. Mungkin novelnya bagus, tapi jalan cerita yang terputus dan acting yang seadanya membuat orang yang menonton akan lebih memilih segera keluar bioskop untuk minum kopi beneran dibanding tetep nunggu akhir film. Tapi lumayanlah film ini jadi obrolan sampai akhir perjalanan.

Setelah kecewa dan beneran lapar akhirnya melipir ke Cabe Rawit, tempat makan yang cozy di tengah kota. Tempat makan yang enak ditambah menyediakan wifi gratis kebutuhan primer anak muda. Makanannya variatif dan harganya masih terjangkau, membuat pengen didatengin lagi.

Esoknya, berhubung jadwal kereta masih 08.35 WIB, pagi yang indah sangat sayang bila tanpa foto-foto di depan balaikota. Bandung yang gak macet pada Senin jadi lokasi yang pas untuk senyum-senyum ke kamera, menghibur diri dan orang lain. Suatu kota menjadi kota yang hidup bila penduduknya banyak tersenyum karena bebas bernafas, dan oksigen yang teratur masuk ke otak pun mendorong logika yang sehat, tak ada yang lebih cukup dibanding jiwa dan raga yang kuat.

Kereta selalu jadi tempat yang asik. Banyak pembicaraan terangkai, baik bicara dengan lawan bicara maupun dengan diri sendiri. Melewati bayangan-bayangan dengan cepat menimbulkan rasa bahwa manusia dan hal-hal sekelilingnya juga dapat dengan cepat pergi dan berganti. Tidak usah risau dan sedih. Siapkan saja diri untuk menerima perubahan itu. Dan bila kita tidak siap, tinggal berteriak, teriakan itu sesungguhnya tidak mengubah sang perubahan, tapi menyadarkann kita bahwa perubahan memang berjalan menuju satu tujuan. Setidaknya kita berani menatap perubahan tersebut (dengan teriakan).

Sudah, sudah, sudah sampai kembali di ibukota untuk menemukan keharusan untuk kembali meliput di Tipikor. Bertemu dengan rutinitas tapi dengan perspektif baru. Perspektif bersyukur dan berterima kasih.

suasana di Kampung Daun, photo by Adit
suasana di Kampung Daun, photo by Adit
"Perahu naga" di danau floating market
“Perahu naga” di danau floating market
photo by Adit
photo by Adit
Suasana Jajanan di Floating Market, photo by Adit
Suasana Jajanan di Floating Market, photo by Adit
photo by adit
photo by adit