Hari ke-2: hujan dan matahari untuk semua

18 Agustus 2014

Hari pertama bersama Paul Marshall yang ternyata pembicara internasional loh karena aktif di berbagai organisasi Hudson Institute’s Center for Religious Freedom dan Freedom House plus menjadi pembicara di Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat karena doi menguasai juga ilmu Hubungan Internasional dan mengedit berbagai buku.

Paul yang bongsor banget itu ngomongin hal yang bener-bener membukakan mata saya yaitu bahwa Mandat Budaya adalah mandat Tuhan kepada manusia agar dilakukan terhadap Seluruh Ciptaan: manusia dan alam! Contohnya adalah pengulangan perintah untuk beranak-cucu kepada Adam dan Nuh yaitu di Kejadian 1:28 dan Kejadian 9:7 (beranakcuculah dan bertambah banyak, sehingga tak terbilang jumlahmu di atas bumi). Dalam Perjanjian Baru juga Paulus menunjukkan tugasnya sebagai rasul dan tukang tenda secara bergantian semuanya adalah sebagai wujud manusia selaku makhluk yang memiliki tangan untuk bekerja sebagaimana Tuhan juga bekerja.

Karena Tuhan bekerja secara holistik bagi seluruh ciptaan, maka manusia selaku gambar dan rupa Tuhan pun harus bekerja holistik, dan politik pun menjadi salah panggilan bagi manusia, meski politik bukan yang utama. Politic is not the most priority calling, but has no substitution calling and it also the basic calling for creation. Meski politik tidak membuat seseorang menjadi suci, namun politik yang baik membantu terciptanya keteraturan. Enough said.

Lecturing for the first time
Lecturing for the first time

Selanjutnya bersama Rusdi Nasution, kami belajar mengenai berbagai cara advokasi kebijakan publik. Sesi membuat saya berpikir bahwa pekerjaan para pekerja Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tentu tidak main-main, tapi dilakukan dengan data dan strategi yang dikumpulkan dengan sunguh-sungguh. Merekalah yang berperan untuk mencerahkan masyarakat saat masyarakt tidak tahu telah dirugikan hak-haknya. Kunci dari advokasi ini adalah membuat target dan cara advokasi agar pesan efektif disampaikan, dalam sesi inilah kami belajar.

Dan terakhir adalah belajar mengenai konstitusi negara yaitu Undang-undang Dasar 1945 dan sharing hidup bersama Presiden Institut Leimena Jacob Tobing, sang panglima amandemen UUD 1945. Pak Jacob sudah tujuh kali menjabat sebagai anggota DPR (yaitu dari Golkar sejak 1968 kemudian dilanjutkan pada 1998 di PDI-Perjuangan) padahal tidak pernah minta jadi anggota DPR, namun dapat ‘mengunci” posisi sebagai ketua panitia ad hoc Badan Pekerja MPR untuk Amandemen UUD 1945 pada 1999-2004 sehingga menghasilkan apa yang namanya “demokrasi” di Indonesia.

Sebagai anak Jakarta yang tahu beres aja, saya malu karena tidak tahu pekerjaan besar yang sudah Pak Jacob lakukan, apalagi beliau tidak sering muncul di televisi ataupun menjabat sebagai menteri karena menolak untuk setia kepada presiden tertentu dan hanya setia kepada bangsa Indonesia. Namun bisa dikatakan politisi-politisi senior tahu beliau dan hormat, memang Pak Jacob yang menjadi “aktor di balik layar” demokrasi Indonesia. JUARA.

Menurut pria asal Bukti Tinggi ini, Konstitusi adalah dasar hukum, hal yang membuat negara berdasarkan hukum (rule of law). Meski amandemen UUD 1945 ada kelebihan dan kekurangannya, namun amandemen itu telah membuka mata, telinga dan lebih lagi nafas kepada rakyat Indonesia yang sebelumnya tidak tahu apa yang namanya bebas itu sehingga harus tetap dijaga pelaksanaannya. Pak Jacob juga banyak menjelaskan kesalahan implementasi konstitusi yang membuat seolah-olah sistem pemerintahan di Indonesia adalah parlementer padahal sesungguhnya adalah presidensil. Hal itu karena dibuka apa yang disebut “koalisi parpol” atau “parpol oposisi” padahal kata “koalisi/oposisi” atau “semangat koalisi/oposisi” tidak ada dalam Amandemen UUD 1945, yang ada adalah semangat penyederhanaan jumlah partai. Hal ini diperparah dengan UU Pilpres yang membuat nama pasangan presiden-wapres itu setelah pemilihan anggota legislatif. Padahal seharusnya nama itu sudah ada sebelum pileg jadi tidak ada tawar-menawar atau hitung-hitungan antar partai.

Pak Jacob adalah orang yang secara alamiah dibentuk sebagai pemimpin karena beliau dapat menerima siapa pun tapi tidak melulu menyenangkan pihak manapun. Dia mengaku menjadi politisi tidak perlu banyak omong, malah harus mendengarkan banyak orang sehingga jaringan dapat terbentuk tanpa perlu melibatkan kepentingan pribadi.

Pak Jacob juga menilai bahwa Gereja pun bukanlah alat politik karena politik itu datang dan pergi sedangkan gereja terus ada. Kata-kata penutupnya sangat keren:

Menjadi Kristen adalah anugerah, manusia dipanggil untuk menjadi rekan sekerja Allah dan ikutilah panggilan itu. Allah yang menurunkan hujan maupun cahaya matahari bagi orang jahat maupun orang baik itulah yang menjadi rekan kerja kita sehingga kita pun bekerja adalah untuk semua, bukan semata berdasar kepentingan pribadi saja.

Setiap sesi pasti foto bersama, kali ini rombongan foto dengan pak maruarar, pak jacob dan paul
Setiap sesi pasti foto bersama, kali ini rombongan foto dengan pak maruarar, pak jacob dan paul